بسم الله الرحمن الرحيم
"Dan Khidir عليه السلام berkata:'Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya."
Darihal Adab Berjalan, Qias mengenai Majma'ul Bahrain dan kepentingan kisah dalam konteks perjalanan kita ummat akhir zaman yang semakin buntu dan dihantui oleh permaslahan buta hati dari kelemahan diri sendiri serta serangan bertalu-talu dari sang matasatu dan kuncu-kuncunya.
ALLAH SWT membuka ruang tarbiyyah keatas Nabi Musa عليه السلام apabila sampai suatu ketika dalam dirinya merasakan baginda AS orang yang paling ber'ilmu, lalu ALLAH SWT peringatkan bahawa sesungguhnya masih ada lagi orang yang lebih tinggi 'ilmunya iaitulah Hadrat Khidr عليه السلام.
Maka bermulalah perjalanan bagi Nabi Musa عليه السلام dalam mengintai dicelah-celah ruang kamar keruhanian dan keperibadiannya tentang kehebatan 'ilmu ALLAH SWT yang dikurniakanNYA keatas hambanya yang bergelar Khidr عليه السلام melalui pertembungan dan anti thesis antara dua spektrum bahtera lautan, al majma'ul bahrain. Kepentingan persoalan majma'ul bahrain ini dalam konteks akhirul zaman tidak dapatlah diuraikan melainkan dengan perjalanan
Maka bermulalah perjalanan bagi Nabi Musa عليه السلام dalam mengintai dicelah-celah ruang kamar keruhanian dan keperibadiannya tentang kehebatan 'ilmu ALLAH SWT yang dikurniakanNYA keatas hambanya yang bergelar Khidr عليه السلام melalui pertembungan dan anti thesis antara dua spektrum bahtera lautan, al majma'ul bahrain. Kepentingan persoalan majma'ul bahrain ini dalam konteks akhirul zaman tidak dapatlah diuraikan melainkan dengan perjalanan
___________________
Bukhari mengatakan bahawa Musa عليه السلام dan pembantunya menemukan Khidir عليه السلام di atas sajadah hijau di tengah-tengah lautan. Ketika Musa عليه السلام melihatnya, ia menyampaikan salam kepadanya. Khidir عليه السلام berkata:
"Apakah di bumimu ada salam? Siapa kamu?" Musa عليه السلام menjawab: "Aku adalah Musa عليه السلام" Khidir عليه السلام berkata: "Bukankah engkau Musa عليه السلام dari Bani Israil. Bagimu salam wahai Nabi dari Bani Israil." Musa عليه السلام berkata: "Dari mana kamu mengenal saya?" Khidir عليه السلام menjawab: "Sesungguhnya yang mengenalkan kamu kepadaku adalah juga yang memberitahu aku siapa kamu. Lalu, apa yang engkau inginkan wahai Musa?"
Inilah aspek yang penting dalam kisah itu. Kisah itu tertumpu pada sesuatu yang ada di dalam jiwa, bukan tertuju pada hal-hal yang bersifat fisik atau lahiriah. Allah SWT berfirman:
"Maka tatkala mereka berjalan sampai ke pertemuan dua buah laut itu, maka mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa عليه السلام kepada muridnya: 'Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita merasa letih kerana perjalanan kita ini.'
Muridnya menjawab: 'Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.'
Musa عليه السلام berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari, lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. " (QS. al-Kahfi: 61-65)
Bukhari mengatakan bahawa Musa dan pembantunya menemukan Khidir عليه السلام di atas sajadah hijau di tengah-tengah lautan. Ketika Musa melihatnya, ia menyampaikan salam kepadanya. Khidir berkata:
"Apakah di bumimu ada salam? Siapa kamu?" Musa عليه السلام menjawab: "Aku adalah Musa عليه السلام " Khidir عليه السلام berkata: "Bukankah engkau Musa عليه السلام dari Bani Israil. Bagimu salam wahai Nabi dari Bani Israil." Musa berkata: "Dari mana kamu mengenal saya?"
Khidir menjawab:
"Sesungguhnya yang mengenalkan kamu kepadaku adalah juga yang memberitahu aku siapa kamu. Lalu, apa yang engkau inginkan wahai Musa عليه السلام?" Musa عليه السلام berkata dengan penuh kelembutan dan kesopanan: "Apakah aku dapat mengikutimu agar engkau dapat mengajariku sesuatu yang engkau telah memperolehi kurnia dari-Nya."
Khidir عليه السلام berkata: "Tidakkah cukup di tanganmu Taurat dan bukankah engkau telah mendapatkan wahyu. Sungguh wahai Musa عليه السلام, jika engkau ingin mengikutiku engkau tidak akan mampu bersabar bersamaku."
Kita ingin memperhatikan sejenak perbedaan antara pertanyaan Musa عليه السلام yang penuh dengan kesopanan dan kelembutan dan jawapan Khidir عليه السلام yang tegas di mana ia memberitahu Musa عليه السلام bahawa ilmunya tidak harus diketahui oleh Musa عليه السلام, sebagaimana ilmu Musa tidak diketahui oleh Khidir عليه السلام. Para ahli tafsir mengemukakan bahawa Khidir عليه السلام berkata kepada Musa عليه السلام: "Ilmuku tidak akan engkau ketahui dan engkau tidak akan mampu bersabar untuk menanggung derita dalam memperoleh ilmu itu. Aspek-aspek lahiriah yang engkau kuasai tidak dapat menjadi landasan dan ukuran untuk menilai ilmuku.
Barangkali engkau akan melihat dalam tindakan-tindakanku yang tidak engkau fahami sebab-sebabnya. Oleh kerana itu, wahai Musa عليه السلام, engkau tidak akan mampu bersabar ketika ingin mendapatkan ilmuku."
Musa عليه السلام mendapatkan suatu pernyataan yang tegas dari Khidir عليه السلام namun beliau kembali mengharapnya untuk mengizinkannya menyertainya untuk belajar darinya. Musa عليه السلام berkata kepadanya bahawa insya Allah ia akan mendapatinya sebagai orang yang sabar dan tidak akan menentang sedikit pun.
Musa عليه السلام mendapatkan suatu pernyataan yang tegas dari Khidir عليه السلام namun beliau kembali mengharapnya untuk mengizinkannya menyertainya untuk belajar darinya. Musa عليه السلام berkata kepadanya bahawa insya Allah ia akan mendapatinya sebagai orang yang sabar dan tidak akan menentang sedikit pun.
Perhatikanlah bagaimana Musa عليه السلام, seorang Nabi yang berdialog dengan Allah SWT, merendah diri dihadapan hamba ini dan ia menegaskan bahawa ia tidak akan menentang perintahnya. Hamba Allah SWT yang namanya tidak disebutkan dalam Al-Qur'an menyatakan bahawa di sana terdapat syarat yang harus dipenuhi Musa عليه السلام jika ia bersikap keras ingin menyertainya dan belajar darinya.
Musa عليه السلام bertanya tentang syarat ini, lalu hamba yang soleh ini menentukan agar Musa عليه السلام tidak bertanya sesuatu pun sehingga pada saatnya nanti ia akan mengetahuinya atau hamba yang soleh itu akan memberitahunya. Musa عليه السلام sepakat atas syarat tersebut dan kemudian mereka pun pergi. Perhatikanlah firman Allah SWT dalam surah al-Kahfi:
"Musa عليه السلام berkata kepadanya: 'Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu ?' Dia menjawab: 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?'
Musa عليه السلام berkata: 'Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.' Dia berkata: 'Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.'" (QS. al-Kahfi: 66-70)
Musa عليه السلام pergi bersama Khidir عليه السلام. Mereka berjalan di tepi laut. Kemudian terdapat perahu yang berlayar lalu mereka berbicara dengan orang-orang yang ada di sana agar mau mengangkut mereka. Para pemilik perahu mengenal Khidir عليه السلام. Lalu mereka pun membawanya beserta Musa عليه السلام, tanpa meminta upah sedikit pun kepadanya. Ini sebagai bentuk penghormatan kepada Khidir عليه السلام. Namun Musa عليه السلام dibuat terkejut ketika perahu itu berlabuh dan ditinggalkan oleh para pemiliknya, Khidir عليه السلام melubangi perahu itu. Ia mencabut papan demi papan dari perahu itu, lalu ia melemparkannya ke laut sehingga papan-papan itu dibawa ombak ke tempat yang jauh.
Musa عليه السلام menyertai Khidir عليه السلام dan melihat tindakannya dan kemudian ia berfikir. Musa berkata kepada dirinya sendiri: "Apa yang aku lakukan di sini, mengapa aku berada di tempat ini dan menemani laki-laki ini? Mengapa aku tidak tinggal bersama Bani Israil dan membacakan Kitab Allah SWT sehingga mereka taat kepadaku? Sungguh Para pemilik perahu ini telah mengangkut kami tanpa meminta upah. Mereka pun memuliakan kami tetapi guruku justru merusak perahu itu dan melubanginya."
Tindakan Khidir عليه السلام di mata Musa عليه السلام adalah tindakan yang tercela. Kemudian bangkitlah emosi Musa عليه السلام sebagai bentuk kecemburuannya kepada kebenaran. Ia terdorong untuk bertanya kepada gurunya dan ia lupa tentang syarat yang telah diajukannya, agar ia tidak bertanya apa pun yang terjadi. Musa عليه السلام berkata: "Apakah engkau melubanginya agar para penumpangnya tenggelam? Sungguh engkau telah melakukan sesuatu yang tercela."
Mendengar pertanyaan Musa عليه السلام, hamba Allah SWT itu menoleh kepadanya dan menunjukkan bahawa usaha Musa عليه السلام untuk belajar darinya menjadi sia-sia kerana Musa عليه السلام tidak mampu lagi bersabar. Musa عليه السلام meminta maaf kepada Khidir kerana ia lupa dan mengharap kepadanya agar tidak menghukumnya.
Kemudian mereka berdua berjalan melewati suatu kebun yang dijadikan tempat bermain oleh anak-anak kecil. Ketika anak-anak kecil itu sudah letih bermain, salah seorang mereka tampak bersandar di suatu pohon dan rasa mengantuk telah menguasainya. Tiba-tiba, Musa عليه السلام dibuat terkejut ketika melihat hamba Allah SWT ini membunuh anak kecil itu. Musa عليه السلام dengan lantang bertanya kepadanya tentang kejahatan yang baru saja dilakukannya, yaitu membunuh anak laki-laki yang tidak berdosa.
Hamba Allah SWT itu kembali mengingatkan Musa عليه السلام bahawa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya. Musa meminta maaf kepadanya kerana lagi-lagi ia lupa. Musa عليه السلام berjanji tidak akan bertanya lagi. Musa عليه السلام berkata ini adalah kesempatan terakhirku untuk menemanimu. Mereka pun pergi dan meneruskan perjalanan. Mereka memasuki suatu desa yang sangat bakhil. Musa عليه السلام tidak mengetahui mengapa mereka berdua pergi ke desa itu dan mengapa tinggal dan bermalam di sana. Makanan yang mereka bawa habis, lalu mereka meminta makanan kepada penduduk desa itu, tetapi penduduk itu tidak mau memberi dan tidak mau menjamu mereka.
Kemudian datanglah waktu petang. Kedua orang itu ingin beristirahat di sebelah dinding yang hampir roboh. Musa عليه السلام dibuat terkejut ketika melihat hamba itu berusaha membangun dinding yang nyaris roboh itu. Bahkan ia menghabiskan waktu malam untuk memperbaiki dinding itu dan membangunnya seperti baru. Musa عليه السلام sangat hairan melihat tindakan gurunya. Bagi Musa عليه السلام, desa yang bakhil itu seharusnya tidak layak untuk mendapatkan pekerjaan yang percuma ini.
Musa عليه السلام berkata: "Seandainya engkau mau, engkau boleh mendapat upah atas pembangunan tembok itu." Mendengar perkataan Musa عليه السلام itu, hamba Allah SWT itu berkata kepadanya: "Ini adalah batas perpisahan antara dirimu dan diriku." Hamba Allah SWT itu mengingatkan Musa عليه السلام tentang pertanyaan yang seharusnya tidak dilontarkan dan ia mengingatkannya bahawa pertanyaan yang ketiga adalah akhir dari pertemuan.
Kemudian hamba Allah SWT itu menceritakan kepada Musa dan membongkar kesamaran dan kebingungan yang dihadapi Musa عليه السلام. Setiap tindakan hamba yang soleh itu yang membuat Musa عليه السلام bingung—bukanlah hasil dari rekayasanya atau dari inisiatifnya sendiri, ia hanya sekadar menjadi jambatan yang digerakkan oleh kehendak Yang Maha Tingi di mana kehendak yang tinggi ini menyiratkan suatu hikmah yang tersembunyi.
Tindakan-tindakan yang secara lahiriah nampak keras namun pada hakikatnya justru menyembunyikan rahmat dan kasih sayang. Demikianlah bahawa aspek lahiriah bertentangan dengan aspek batiniah. Hal inilah yang tidak diketahui oleh Musa عليه السلام.
Meskipun Musa عليه السلام memiliki ilmu yang sangat luas tetapi ilmunya tidak sebanding dengan hamba ini. Ilmu Musa عليه السلام laksana setitis air dibandingkan dengan ilmu hamba itu, sedangkan hamba Allah SWT itu hanya memperoleh ilmu dari Allah SWT sedikit, sebesar air yang terdapat pada paruh burung yang mengambil dari lautan. Allah SWT berfirman:
"Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidir عليه السلام melubanginya. Musa عليه السلام berkata: 'Mengapa kamu melubangi perahu itu yang akibatnya hamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.' Dia (Khidir) عليه السلام berkata: 'Bukankah aku telah berkata: 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.' Musa عليه السلام berkata: 'Janganlah kamu menghukum aku kerana kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.'
Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir عليه السلام membunuhnya. Musa عليه السلام berkata: 'Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih itu, bukan kerana dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.'
Khidir عليه السلام berkata: 'Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahawa sesungguhnya kamu tidak akan sabar bersamaku?' Musa عليه السلام berkata: 'Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertairnu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur kepadaku.'
Maka keduanya berjalan hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mahu menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir عليه السلام menegakkan dinding itu. Musa عليه السلام berkata: 'Jikalau kamu mahu, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.'
Khidir عليه السلام berkata:'Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, kerana di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.
Dan ada pun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khuatir bahawa dia akan mendorong orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam dari kasih sayangnya (kepada ibu dan bapaknya).
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya seseorang yang soleh, maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemahuanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.'" (QS. al-Kahfi: 71-82)
Hamba soleh itu menyingkapkan dua hal pada Musa: ia memberitahunya bahawa ilmunya, yakni ilmu Musa عليه السلام sangat terbatas, kemudian ia memberitahunya bahawa banyak dari musibah yang terjadi di bumi justru di balik itu terdapat rahmat yang besar.
Pemilik perahu itu akan menganggap bahawa usaha melubangi perahu mereka merupakan suatu bencana bagi mereka tetapi sebenarnya di balik itu terdapat kenikmatan, yaitu kenikmatan yang tidak dapat diketahui kecuali setelah terjadinya peperangan di mana raja akan memerintahkan untuk merampas perahu-perahu yang ada. Lalu raja itu akan membiarkan perahu-perahu yang rusak. Dengan demikian, sumber rezeki keluarga-keluarga mereka akan tetap terjaga dan mereka tidak akan mati kelaparan.
Demikian juga orang tua anak kecil yang terbunuh itu akan menganggap bahawa terbunuhnya anak kecil itu sebagai musibah, namun kematiannya justru membawa rahmat yang besar bagi mereka kerana Allah SWT akan memberi mereka sebagai ganti darinya anak yang baik yang dapat menjaga mereka dan melindungi mereka pada saat mereka menginjak masa tua dan mereka tidak akan menampakkan kezaliman dan kekufuran seperti anak yang terbunuh.
Demikianlah bahawa nikmat terkadang membawa sesuatu bencana dan sebaliknya, suatu bencana terkadang membawa nikmat. Banyak hal yang lahirnya baik temyata justru di balik itu terdapat keburukan.
Mula-mula Nabi Allah SWT Musa menentang dan mempersoalkan tindakan hamba Allah SWT tersebut, kemudian ia menjadi mengerti ketika hamba Allah SWT itu menyingkapkan kepadanya maksud dari tindakannya dan rahmat Allah SWT yang besar yang tersembunyi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Selanjutnya, Musa عليه السلام kembali menemui pembantunya dan menemaninya untuk kembali ke Bani Israil. Sekarang, Musa عليه السلام mendapatkan keyakinan yang luar biasa. Musa عليه السلام telah belajar dari mereka dua hal, yaitu ia tidak merasa bangga dengan ilmunya dalam syariat kerana di sana terdapat ilmu hakikat, dan ia tidak mempersoalkan musibah-musibah yang dialami oleh manusia kerana di balik itu terdapat rahmat Allah SWT yang tersembunyi yang berupa kelembutanNya dan kasih sayang-Nya. Itulah pelajaran yang diperoleh Nabi Musa عليه السلام as dari hamba ini.
Nabi Musa عليه السلام mengetahui bahawa ia berhadapan dengan lautan ilmu yang baru di mana ia bukanlah lautan syariat yang diminum oleh para nabi. Kita berhadapan dengan lautan hakikat, di hadapan ilmu takdir yang tertinggi, ilmu yang tidak dapat kita jangkau dengan akal kita sebagai manusia biasa atau dapat kita cerna dengan logik biasa. Ini bukanlah ilmu eksperimen yang kita ketahui atau yang biasa terjadi di atas bumi, dan ia pun bukan ilmu para nabi yang Allah SWT wahyukan kepada mereka.
Kita sekarang sedang membahas ilmu yang baru. Lalu siapakah pemilik ilmu ini? Apakah ia seorang wali atau seorang nabi? Majoriti kaum sufi berpendapat bahawa hamba Allah SWT ini dari wali-wali Allah SWT. Allah SWT telah memberinya sebahagian ilmu laduni kepadanya tanpa sebab-sebab tertentu. Sebahagian ulama berpendapat bahawa hamba soleh ini adalah seorang nabi. Untuk mendukung pernyataannya ulama-ulama tersebut menyampaikan beberapa berselisih pendapat melalui ayat Al-Qur'an yang menunjukkan kenabiannya.
Pertama, firman-Nya:
"Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami."
Kedua, perkataan Musa عليه السلام kepadanya:
"Musa عليه السلام berkata kepadanya: 'Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?' Dia menjawab: 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu ?'
Musa عليه السلام berkata: 'lnsya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.' Dia berkata: 'Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu bertanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu,'" (QS. al-Kahfi: 66-70)
Seandainya ia seorang wali dan bukan seorang nabi maka Musa عليه السلام tidak akan berdiaog atau berbicara dengannya dengan cara yang demikian dan ia tidak akan menjawab kepada Musa عليه السلام dengan jawaban yang demikian. Bila ia bukan seorang nabi maka berarti ia tidak maksum sehingga Musa عليه السلام tidak harus memperoleh ilmu dari seseorang wali yang tidak maksum.
Ketiga, Khidir عليه السلام menunjukkan keberaniannya untuk membunuh anak kecil itu melalui wahyu dari Allah SWT dan perintah dariNya. Ini adalah dalil tersendiri yang menunjukkan kenabiannya dan bukti kuat yang menunjukkan kemaksumannya. Sebab, seorang wali tidak boleh membunuh jiwa yang tidak berdosa dengan hanya berdasarkan kepada keyakinannya dan hatinya. Boleh jadi apa yang terlintas dalam hatinya tidak selalu maksum kerana terkadang ia membuat kesalahan. Jadi, keberanian Khidir عليه السلام untuk membunuh anak kecil itu sebagai bukti kenabiannya.
Keempat, perkataan Khidir عليه السلام kepada Musa عليه السلام:
"Sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemahuanku sendiri. " (QS. al-Kahfi: 82)
Yakni, apa yang aku lakukan bukan dari doronganku sendiri namun ia merupakan perintah dari Allah SWT dan wahyu dari-Nya. Demikianlah pendapat para ulama dan para ahli zuhud. Para ulama berpendapat bahawa Khidir عليه السلام adalah seorang Nabi sedangkan para ahli zuhud dan para tokoh sufi berpendapat bahawa Khidir عليه السلام adalah seorang wali dari wali-wali Allah SWT.
Salah satu pernyataan Khidir عليه السلام yang sering dikemukakan oleh tokoh sufi adalah perkataan Wahab bin Munabeh, Khidir عليه السلام berkata: "Wahai Musa عليه السلام, manusia akan disiksa di dunia sesuai dengan kadar kecintaan mereka atau kecenderungan mereka terhadapnya (dunia)." Sedangkan Bisyir bin Harits al-Hafi berkata: "Musa عليه السلام berkata kepada Khidir عليه السلام:
"Berilah aku nasihat." Khidir عليه السلام menjawab: "Mudah-mudahan Allah SWT memudahkan kamu untuk taat kepada-Nya." Para ulama dan para ahli zuhud berselisih pendapat tentang Khidir عليه السلام dan setiap mereka mengakui kebenaran pendapatnya. Perbedaan pendapat ini berujung pangkal kepada anggapan para ulama bahawa mereka adalah sebagai pewaris para Nabi, sedangkan kaum sufi menganggap diri mereka sebagai ahli hakikat yang mana salah satu tokoh terkemuka dari ahli hakikat itu adalah Khidir عليه السلام.
Allahu a'lam.